09 May 2010

begitulah


 Adik adik, coba temukan beberapa kesamaan dalam gambar dibawah ini




Di genggaman tangan sang kesendirian,
Ada puisi yang hangat, tintanya belum mengering
Lalu ia menatap ruang,
Ada pengertian yang tak perlu terjawab, rodanya masih berputar

Sambil menghirup udara di waktu yang tak pernah ia kenali namanya,
Hadir duri duri dan lumpur
Merambat di pijakan, menunggu untuk terinjak, tak akan puas sampai kau berteriak
Sampai disaat kesendirian, hanya ada waktu dan cermin
Tak akan bisa kembali jika kabur berlari
Satu satunya jalan adalah: tatap dan amati

Lalu sang kesendirian ditakdirkan untuk tak punah, dan menjalar ber-evolusi
Berkilat-kilat merayapi waktu dan cermin

Lalu semuanya sama,
Seingatku disini tak pernah ada manusia


------------

*sepertiga pagi di saat Sore, selasar Karolina, dalam bulan yang lain dan bumi yang sama*
Dengar
Bantal ini merintih menahan air mata rembes ke dasarnya
Lalu setiap tempat yang kuinjak menjadi makam
Kamar kamar dan lorong membuai kematian

Sempat teringat suatu saat,

Dan menjadi mengerti bahwa setiap luka adalah rahim yang tak berbatas
Kehidupan baru akan lahir saat bulan merah jambu
Ketika darah melebur dengan putih hatimu

Ada denting yang bergetar pelan dalam pekik kelelahan

Diamlah sejenak, dengarkan itu
Jika harapan telah tenggelam dalam lumpur, bisakah ia kembali selugu dulu?

Kekasih, sekarang tiap kata menjadi jelas dan bergetar

Aku tahu,
Ada ekstase yg mengintip gugup dari pori wajahmu
Katanya slalu ada logika untuk setiap pikiran yang gila
Bergeraklah sebelum pagi memburumu jadi kenangan
Tidak semuanya ingin terbakar sampai kesana

Siapkah kau mendengar

sebuah pelajaran tentang kejauhan?



----

w/Ára Bátur
Pelangi meledak di kepalaku, Djana
Ini pagi, pukul tujuh membelah diri jadi dua
Mataku meraung mencari langit
Aku terhimpit tubuh sendiri

Sekarang jalan menyeringai jadi rintangan

Dan awan adalah sekumpulan bara api yang membuat langitku memerah

Ting....ting....

Ada dentingan yang memanggil dari luar jendela
Sungguh tak akan kuintip, Djana!
Leherku membatu, segan untuk palingkan muka!
Sejuta kutu sedang merayapi layar perak
Maka itu kututup! Penonton tak boleh masuk!
Biarkan sesaat aku kutuki darah yang membeku ini

Di depan ada batu, segala rupa debu

Aku begitu benci bahwa bergerak adalah maju


***

pagi. Ditemani GYBE yg berotasi di kamarku.

Ada kertas yang keras kepala
Meludahi setiap tinta yg menyapanya
Ia tak ingin ditulisi.


Ia hanya ingin dilipat jadi sayap, lalu direkatkan di balik punggungmu



Ada suatu kelelahan dimana kita selalu terkunci didalamnya
Ketidaktahuan bukan lagi titian yang rapuh saat kau menari lewati retakan ini
Selalu ada batas tipis itu yang tak akan bisa dilewati dengan roket berkecepatan cahaya apapun
Sayang, jangan pernah membungkuk tanpa sebab yang kuat
Kita hanya bermain-main dengan debu disini

Kemarin hari aku telah salah mengukur bulan, kukira matahari

Hangat yang kurasa ternyata bukan dari cahaya, hanya pikiranku yang bergesekan dengan kebingungannya sendiri
Jadi aku tidak pernah kemana-mana

Semoga kuingat semuanya sampai pikiranku diburai cacing tanah




Kita adalah seberkas permainan semesta
Duduk di kolong dimensi dan bermimpi sambil berlari
Mempercayai televisi lebih dari kenyataan itu sendiri
Dan membiarkan barang barang berbicara lebih banyak daripada bibir kita, meneriakkan hal hal yang tak mampu dikenali lagi
Sampai tumpukan pixel terasa lebih hangat dari matahari pagi
Lalu sekarang siapakah ini semua? kita sudah terlanjur tak menubuh lagi
embun, tolong potong potong teriakan yang berkarat dalam tenggorokan ini
biar jadi bisikan bisikan konstan yang tak lagi mensaturasi energinya sendiri
aku hanya sedang lelah untuk kelelahan yang lainnya

kompilasi merah gelap

Aras karang, lunjakan trotoar, patroli selangkang, bludak buih jalananan, panorama sembarangan !!!! Kebodohan masal, arus ketidakpedulian !!!

Pusing ah!!!
Sistem setan, birokrasi liang kotoran, prosedur kolong pikiran !!!
Merobotkan anak bangsa!!!

///

ITU LUDAH,
UNTUK KEPALA KOSONG DAN KULIT INDAHMU
DENGAN SEGALA FREKUENSI JIWAMU,
YANG MEMUALKAN AKAL SEHATKU !!!

segala salam dari comberan untuk mimpi-mimpi indahmu bangsat
Dalam sunyi itu
Aku melihatmu berbinar cerah,
Tak terlalu seperti ketika terang dan luas
Kau berulas kabut berwarna lipstik
Sinar malu malu masih bisa terintip

Mana mungkin bisa
Merasakanmu utuh utuh
Kalau dirimu dicacah sudut,
Dipantulkan kondisi ke segala arah
Sampai remuk,
Remuk tak berbentuk
Apakah masih bisa aku mengenalimu?
Menyapamu lagi saat melintas di jalan ramai?
Entahlah

11 April 2010

kitab tanpa kesucian

dosa adalah suatu kemiringan yang pada derajat tertentu menampakkan kelurusannya, dan kita hidup dalam wisata derajat, menjadi saksi bahwa satu garis bisa menjadi apa saja

ada juga dari kita yang hidup dengan menelan bulat-bulat langit yang diawetkan dalam sabda kalimat serta menghayati realita lewat kotak 21 inci berlayar kaca perangkum semesta


ada juga dari kita yang tahu dan tak lagi peduli apa apa


ada juga dari kita yang bersembunyi dan diam saja

sisipan pagi

Terimakasih teman teman,
mungkin kalian tak pernah ingat lagi hal ini
Tapi yang terjelas,
pagi ini aku tersenyum merasakan harapan yang kalian sisipkan lewat malam malam panjang
Atau semata hanya dari bacotan kosong, aku tak peduli

Aku hanya suka interupsi interupsi yang kalian tanamkan, tumbuh pada suatu saat yang tak terduga


Makanya matahari pagi jadi sungguh hangat,

dan jalan raya jadi lucu lagi
Hal hal yang selalu memberi kesempatan sekali lagi

Suatu saat mungkin kita tak pernah ingat lagi, entahlah

Tapi aku suka semua ini


(untuk semua teman-teman yg saya tinggal pergi bertapa ke sarang kelinci....maaf ya.. makasih banget semuanya :'> ) 

karat

aku tidak bisa mencium wangi darah dalam kata katamu
apalagi yang terlihat,
kalau cuma onggokan keindahan
rima rima sorakan
bertumpuk dan jatuh
meretak mati ke tanah

dunia ini bukan cuma etalase

tempat untuk pamerkan warna warnimu
atau panggung
area pentas sumpah serapah

seribu kerumun,

melekat di yang pucat
dan darah sudah berkarat
sekali lagi,
sekali lagi!
sekali lagi ayunkan kelucuan ini

terlalu tanggung

untuk matahari yang telah mati

nyalang

Tiap tiap diri kita adalah seorang revolusioner, sayang!

Tapi celaka, ada yang menjinakkan diri kita diam diam. Menyusup dari kiri kanan.


Mereka membubuhkan batas batas dalam diri kita

Memprogram ingatan ingatan

Tapi kamu tetap ingat kan?

Hukum selalu dilanggar
Keharusan kerap dilawan
Kesamaan sering dibuang
Baik dengan teriak atau dalam diam

Kenapa penjara selalu penuh?

Dan dirimu sering menolak?
Walau kamu berkata ya, ya, dan ya,
Tapi tetap saja,
mengatakan TIDAK rasanya sejuta kali lebih menyenangkan

Selalu ada dorongan,

Untuk melakukan hidup dengan cara kita sendiri

Hei !

Mereka bisa menyuruh, mereka bisa memaksa
Dan kita patuhi
Dan kita iyakan

Tapi, TIDAK datang lagi mendampingi

Setia seperti kawan lama, seperti pacar yang mesra

Itulah dirimu, sayang!

Yang selama ini mereka ingin kamu lupakan

Mereka telah memakaikan berlapis pakaian pada tubuhmu

Membuatmu tampak konyol seperti ini itu

Tapi tetap saja,

Kamu yang asli adalah dirimu yang telanjang
Seperti saat kamu dilahirkan

Tiap tiap diri kita mengandung arus yang kuat,

Sebuah diri telanjang bernama hasrat

Maka itu kita selalu bilang,

Hukum ada untuk dilanggar
Dan keharusan itu membosankan

Tiap tiap dari kita adalah seorang revolusioner.

Walaupun kita berkata ya, ya, dan ya,
Tetap saja,
Berkata TIDAK rasanya sejuta kali lebih menyenangkan !

,

Seandainya semua perasaan bisa ditakar.

Tapi saya seperti dikutuk untuk mengerti, bahwa selain ada banyak hal yang telah ditimbang timbang dan diberi bahasa dan makna (dan nilai) di dunia ini, tetap ada hal hal yang terlalu keras kepala untuk ditakarkan. Licin dan liar, seringkali pecah saat digenggam.

Dan sialnya juga, saya dikutuk untuk menggenggam segala galanya. Mungkin inilah kompleks yang dialami manusia, yang menghasilkan hidup yang seperti saya dan kamu hidupi saat ini. Kita semua selalu membutuhkan hal hal yang kita mengerti dan dapat kita genggam selamanya, sebuah pelampung yang membantu kita melampaui hidup yang misterius ini. Banyak perasaan perasaan yang belum bisa saya mengerti sampai sekarang. Perasaan perasaan yang ternyata adalah titik krisis saya. Menerjemahkan itu semua, saya tahu, akan melepaskan banyak hal yang menggerogoti energi saya; melepaskan ketidakmengertian yang sering membuat saya harus berhenti atau melacak mundur.

Lalu muncul kutukan ketiga, pengertian bahwa saya harus memahami kedua hal ini dan tidak selalu menggenggam salah satunya, karena saya tahu jika satu saja yang saya pilih maka saya akan benar benar hidup dalam kutukan. Acak acaklah, aduk dan jadikan satu. Letakkan di atas tangan terbuka. Biarkan gravitasi menahannya tetap di tangan. Atau angin yang meniupnya ke atas, kabur dari tanganmu.

Saya mulai sadar kalau ternyata saya masih bisa bergerilya di antara kutukan kutukan ini. Berteriak bahwa semua kutukan ini bisa jadi tak berarti apapun untuk saya.

Saya mencoba... Ya, mungkin hanya baru sekedar mencoba

adalah

Diantara semua keAdaan ini,
adalah retak yang terkutuk
Menggenang di sudut arus
Macet di persimpangan

Hidup itu mafia,

mempecundangi di belakang tiada henti
Kau genggam, dan dia pecah bernanah, mengalir tengik, menderitakan anyir

Gatal sampai mati.

ruang lengkung

(ketawa saja. Dan kata kata ini akan kupeluk dalam tanda kurung. Yang tak pernah kukunci. Kita boleh masuk sesuka hati. Kububuhkan tanda kurung ini dalam kata kataku. Biar kita punya tempat sendiri. Bermain disini. Masuk saja. Biarkan yang diluar berebut korek sendiri. Tapi dalam tanda kurung ini, langsung saja nyalakan api unggunnya. Hangatkan hati bersama, api ini milik semua. Maka ketawalah. Kupeluk dalam tanda kurung ini.)

revolusi tanda titik

Ya, tambahkan saja satu tanda titik di belakang satu tanda titik

.

..

Jadilah ia kalimat tanpa akhir, tanpa ketegasan

ambang

Ada anjing berlari gelisah dalam tengkorak. Mendesah geram, liurnya tumpah membanjiri kerongkongan. Gonggongan resah mengaduk aduk udara malam, napas bau tanah kemarau. Cakar mengais-ngais, mencari, tanpa tahu dibawah hanya pusaran angin. Terkikislah gelap yang makin membiru. Memar lebam telak sungsang. Terhajar celah-celah yang haus darah segar, menyisakan nanah kosong kental berlendir. Anjing !! Ia mengerumuni kepalaku lagi, dari ubun-ubun sampai rahang, merambati rupa semak belukar. Seperti semut-semut yang tak peduli. Seperti tikus-tikus tak tahu malu. Seperti belatung yang nongol sendiri. Seperti kebijakanmu yang menggerogoti. Menghisap tengkorakku sampai semuanya menjadi tulang rawan. Hisap lagi sampai jadi daging kelapa muda. Hisap lagi, hisap sampai jadi lendir kuning kering mengerak dalam bawah sadar. Mengasapi saraf, membuatnya jadi rendang basah. Dan anjingpun memangsanya dengan gembira, setelah gelisah berlari dalam tengkorak, setelah mendesah geram sampai liurnya banjir di kerongkongan, setelah menggonggong, mencakar, mengais-ngais. Terkikis

patung

Gerakku,
Tergenang kering dalam kumparan kata kata
Kakiku telah basah, menginjak janji yang kutoreh pada waktu
Dan disini tergeletaklah diriku dalam sejuta huruf dan tanda baca
Berlumuran detik-detik yang berbalik membalas dendam..........

null space

Dunia ini cuma sepetak ruang vakum
Rongga hampa udara
Dimana Kita bebas melayang, bergerak, berputar, menari, terbang jungkir balik
Karena disini tak ada gravitasi
Tapi kenapa, banyak yang lekat terikat
Dalam gravitasi semu berjudul agama, moralitas, sopan santun
Negara, senioritas, intelektualitas, kehormatan, etika, loyalitas dan siluman-siluman lain
Berdiri bergeming dalam ruang yang membiarkanmu menari penuh kehidupan
Mari terbang jungkir balik kawan
Hisap sari-sari darah tuhan

boneka daging

Hari terus bergulir
Mereka tetap duduk diatas kepalaku, Berlagak seperti matahari
Menggiring gerak anggota tubuhku dengan tali
Demi kepuasannya sendiri
Memainkan kami yang berserak dibawah telapak kakinya
Dengan tali,
Atur kami sesuka hati
Dengan tali,
Katanya demi kepentingan kami
Dengan tali,
Kami tak boleh bicara, mereka yang berkoar semaunya
Dengan tali,
Dililit diri kami
Sampai mati rasa, sampai tak merasa apa apa,
Walau dikendalikan dengan tali

mari berpesta dengan jiwa jiwa yang terdiam

Jogja hari ini sepi
Padahal katanya ramai ada pesta demokrasi
Malah diam seperti kota mati
Mati dan diam seperti pikiran-pikiran muda yang teronggok di televisi
Jogja hari ini panas
Teriknya membakar sampai ke paru-paru
Tidak seperti jiwa-jiwa muda yang dingin
Membeku dalam sekolah dan ruang-ruang kelas
Pucat, hampa dari keringat
Sampai Racun berkembang biak dalam darah
Darah yang mengaliri rongga-rongga hasrat
Mendidihkan energi untuk membeli dan membeli
Tonton dan nikmati lagi
Jogja hari ini
Pada berlibur pulang kampung
Tubuh boleh berpindah, tapi otak tetap terpaku dalam keharusan-keharusan
Menjerat diri untuk kerja dan cari duit lagi
Cari yang pasti-pasti
Maka itu, haaah....
Jogja hari ini

pelucutan bawah sadar

Sebenarnya aku benar2 tidak mau mengeluh. Tetapi ternyata alam bawah sadar ini sedang lelah untuk dicekoki represi-represi lagi demi luka luka dari kesadaran yang minta distrerilisasi. Yah, kesadaran ternyata adalah lapisan yang sombong, tapi ternyata terlalu takut dan manja untuk diuji. Maka semua disetor ke kawah ketidaksadaran, dan makin menggumpal panas menggelegaklah; mengintai diam di belakang, siap untuk menyergapmu dalam sekejap. Karenanya aku butuh teks negatif juga! Membiarkan keimpotenan insulin menjadi sadar aksara, dan pusing di kepala menyusupi bahasa. Biar mereka menggerogoti tubuhku tapi aku ingin terus menari tertawa dalam liukan teks negatifku. Biar semua rasa kantuk terbakar dan racun kelelahan keluar sambil berkoalisi dengan keringatku, kabur keluar pori-pori agar mereka rasakan bahwa dunia luar bisa lebih membunuhku, atau lebih mesra memelukku daripada diriku sendiri. Bersenggama dengan rasa kering di tenggorokan sampai ia puas menghabisi detik-detik yang diintai hasratku, bereksperimentasi bahwa penderitaan adalah penaklukan akan ketidakberdayaan. Aku yang tak ingin dikuasai oleh apapun bahkan oleh diriku sendiri, kini terseok akibat kudeta organ dan kelenjar.

pelangi di langitku sekarang adalah bendera benderamu

Pelangi pelangi
Alangkah partaimu
Merah kuning hijau
Di langit biruku
Benderamu ramai
Siapa gerangan
Pelangi pelangi ciptaan partai

kalimat penusuk mayat

buka pori-porinya,
buka sekatnya!!!
karena darahku ini tak tahan ingin terciprat ke tanah
lelah hanya berputar diam di sana
buat aku terluka sekarang!!
darah ini akan menggebrak pori-pori lagi
karena tubuhku telah bosan memangku darah kotor
sampai ia mengalir segar keluar, menciumi udara liar dunia
terbaptiskan kembali bugar
aku harus potong pembuluh
aku harus iris urat-urat

ekskresi

Dalam skala kecil, satu tubuh saja bisa dirusak oleh bagian dari tubuh itu sendiri, dengan berbagai hal yang sudah melewati kurva normal. Manusia menyakiti tubuhnya sendiri, sadar tidak sadar, bahkan dengan cara yang ternikmat
Maka itulah juga yg terjadi dengan tubuh besar kehidupan kita, bumi.

 
KIAMAT TIDAK PERLU DIRAMALKAN KARENA KITA MENCICILNYA SENDIRI !!
Malam memuntahkan buih sedih ke pinggir tempat tidur
Teringat besok siang debu akan menguap lagi di dalam kepala
Matahari menciumi cemburu buta
......
Aku ingin bercanda di dalam tenggorokanmu !!!

tinta hitam cumi cumi merah

kadang kadang geli membaca puisi. saat ada atmosfir bahwa semuanya dipaksakan untuk menjadi indah.
saat berbagai aksesori dimunculkan secara kompulsif sampai dinding dan bau alami ruangan tidak bisa tercium dengan kesungguhannya.
saat banyak hal yang dipaksakan berwarna, dipulas tebal-tebal, dipelintir diputar-putar, dibolak-balik gravitasi keegoan
blablabalabla..
dan hanya tercium aroma bedak, lipstik, eyeliner, blush on, atau lentiknya bulu mata yang didorong oleh mascara sampai sampai aku tak bisa lagi mengenali wajah jelekmu !!

menggelikan ya baca tulisan saya ini ???
lupakan gelapnya bebas terangi mimpi indahmu
sucikan hari semalam, terangi di dunia
bebas, lepaskan, awan awan dalam pikiranmu
bebas, lepaskan, keringat dari pori tubuhmu
tak perlu kau lukis indah di wajahmu
tak perlu kau hirau ada yang disana,
beralaskan dewasa
hari yang selalu akan terbenam
dan kita....
dan dunia....
dan semua akan terbit lagi di malam itu
dan dewa
tak pernah minta kau untuk puji dirinya
untuk indahkan langitnya
hanya kau, dirimu, yang kau harus lukai
kau sentuh bibirmu dan resahkan sudut-sudut sepimu

dan........
aaa aa aaaa
nananana.....


(281208)
(lirik yg tercipta melalui senandung spontan)
SD SMP SMA
Guru guru mengajarkanku satu pelajaran
Tentang rupa rupa bayangan
Yang gambarnya terikat dengan rumah rumah di depan
Memblokir cahaya dari matahari yang selalu satu jumlahnya
Tapi rumah rumah adalah jamak dan bisa jadi punya siapa saja
Dibeli berapa saja, dibangun dan dihancurkan kapan saja
Maka begitulah bentuknya bayangan

Cahaya selalu bersinar dengan pasti

Rumah berubah dan menetap silih berganti, kaku di tempat
Maka begitulah bentuknya bayangan
Dan inilah yang guru guru ajarkan

Pelajaran sejarah, katanya.

luap

Hari ini
Jalananpun
dipaksa berpolitik
Dijejali stiker, bendera, dan spanduk
Sampai ke ujung sudut
Tiap meter tanah adalah
Investasi publikasi
Tapi semuanya
Seperti olok-olok saja
Disain asal jadi
Kalimat asal tempel,
atau simpati asal obral
Aaah
Tak taulah
Semakin kulihat
Semakin golput saja rasanya
maka aku acak-acak saja malam dan siang
sore, maghrib, subuh, tengah malam
karena aku sebegitu cemburu, tak ada waktu yang mau berdamai denganku
aku lari saja, keliaran ke tempat yang tak pernah aku ketahui
injak-injak tanah sampai terciprat genangan air itu ke sudut-sudut jalan
lalu patahkan setiap sayap kupu-kupu yang terbang lewati wajahku
srek srek..... krek krek..
biar saja, sampai hancur dan tak ada yang bisa terbang lagi

lalalalalalala

akupun menggumamkan lagu pure saturday seenak hatiku
semakin keras, semakin jelek. biar saja biar rusak kupingmu
srak srak srak....
aku sapu jalan,
dari sampah-sampah yang berserakan
lalu aku bakar
siram bensin ke tumpukannya
lalu aku duduk diatasnya
lalu nyalakan korek api
jatuhkan
pyar

goblok

Pejabat mati satu karena rakyat,
media gembar gembor bilang, "MENCORENG DEMOKRASI !!"

Rakyat mati karena segelintir pejabat,

media gembar gembor bilang, "HARAP MAKLUM !!"
terang kan tidur lagi
puisi kan lelah lagi
sudut kan memuai lagi
sekarang saatnya berdansa
membasuh muka dengan dendam
makan siang bersama kelam
selanjutnya bisa tidur dalam mimpi mimpi yang tak termengerti

besok kita bisa berbicara

ini itu tak ada habisnya
nanti pasti akan lain lagi
bibir ini seperti tak punya memori
lalu lelah seperti menagih janji
pada berita yang menyingkatkan elegi
salahmu juga,
kenapa malam ingin kau terangkan
dan mendung ingin diwarnai
maka lihat saja nanti
kau yang akan habis ditelan pori-pori

kalau begitu selamat pagi,

waktunya tidur lagi.

,

bangkai ini,
mau tumbuh seberapa tinggi lagi

kental

Biar cuma bekicot, tapi dalam cangkang ini menghampar musik terkencang.

Biar gerakku lambat, tapi daging tanpa tulang ini menjejakkan cairan kental yang melengketi lantai rumahmu.


Biar, walau cuma bekicot, aku tetap membuatmu jijik, membuatmu kesal.

Aku tak perlu berlari. Cukup bergerak lambat dan memakukan jejak kental.

Lalu kau garami aku, lalu luruhlah dagingku. Lalu terperas bening lengketku. Biar sudah mati harus kau bersihkan lagi, sambil tahan mual.


Santai saja, tak perlu membakar tenang.

Aku akan menempeli lantaimu lagi seperti matahari, kembali terbit untuk besok pagi

kamu memenggal lidahmu sendiri !

Agama itu juga sekuler. Dia memisahkan yang banal dan yang suci. Dia memisahkan Tuhan dari kehidupan sehari-hari, memindahkanNya ke atas altar. Dia memadatkan penghayatanmu dalam beberapa ratus halaman kitab suci, ibadahmu dalam rangkaian gerakan statis, perilakumu dalam sekumpulan doktrin.
Sehingga hidupmu yang banal tak masuk hitungan, sehingga kesenanganmu untuk berjalan sore tak dianggap sebagai kesalehan. Dan bagian-bagian tanpa potongan kitab adalah pinggiran.

Maka aku memilih menjadi pemulung. Mengumpulkan remah-remah yang terbuang dan menjadikannya sumber penghidupan

ketombe

Kehitaman
Ujung kukumu
Setelah kau garuk garuk
Hatiku yang berlapis kertas minyak
Aku tak mau lagi keduluan
Sebelum kau pamitkan selamat tinggal, aku yang akan kabur duluan
Sebelum kau beranjak akan pergi, aku yang akan mengusirmu duluan
Sebelum kau mau mati, aku yang akan membunuh dirimu duluan dari otakku
Mendetoksifikasi syarafku dari candumu
Sampai aku merasa tak apa-apa
Sampai aku tak merasa ketinggalan
Tertinggal
Ditinggalkan
Dengannya hanya mendaur ulang realita
Terbuang
Terbujur kaku
Di malam-malam yang dijalari biru

Hilang kelopak mataku

Bertumbuh duri dalam rohku
Sampai lelah jiwa terperkosa

Aku pegal

Seluruh sarafku lebam
Jika begini
Kuingin lari
Menyelingkuhi melankoli

monsteruasi

Melacurkan waktu pada hasrat yg hanya mengalir di pembuluh terluar. Bodoh, tolol, ambisi pinggiran, blablablablabla
maka bersitkan malam, buang terang sampai ujung tepian
lalu sumpalkan ke bibirmu, kulumlah siang hingga terbenam
jangan rentangkan lagi dalam pikiran
rasakan rapuhnya, olah sudut-sudut yang tak ingat akan kau jangkau
ubah jadi rajutan baru, kumpulkan serat-serat itu;mereka berjatuhan
dan lalu turunlah, deras mengejar, kau rasakan pahitnya selaput kepastian
telan saja. nanti juga terbuang

fff

Tuhan,aku selipkan lahir,hidup&matiku dibawah kakimu. Sekarang aku akan pergi dari subjektivitas yg melelahkan. Mau kunjungi kepalsuan yg lain lagi

seratus receh untuk jakarta



jakarta telah lelah,
manusia berebut memakukan ego di daging kota, memberi kawat baja dan tanda marka "KAMI SEGALANYA"; tak sadar hasratnya yang bernanah mengepul dari tiap ujung, sia-sia melumuri tubuh-tubuh yang beterbangan di jalan, pikiran-pikiran yang mencemaskan lapar, dan yang lain yang tak tertanda

jakarta wujudkan surga sintetis,
dan jika otak adalah pusat syaraf, jakarta adalah puncak kesombongan berbalut sampah, berlapis marah, terselubungkan diam dan kaki gunung bawah sadar
jakarta mencandu ego, ia sakiti ia pula yang nikmati.

dan kuberi uang seratus recehku untuk jakarta